HARANGGAOL, KOMPAS.com – “(Asal tahu saja), sejahteranya (masyarakat) Haranggaol kalau ditelusuri ya setelah budidaya ikan...”
Kalimat yang kurang lebih sama seperti itu dikatakan oleh beberapa petani yang ditemui Kompas.com saat mengunjungi Haranggaol, Simalungun, Sumatera Utara.
Masyarakat Haranggaol punya banyak cerita untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini sekelumit kisah soal itu.
Dulu, sekira tahun 1970-1980, warga Haranggaol lebih senang bercocok tanam utamanya bawang merah. Sayangnya, iklim dan tekstur tanah tak selamanya mendukung. Kemudian mereka beralih menjadi petani ikan.
Mereka memanfaatkan perairan Danau Toba untuk budidaya ikan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA). Kini, di Haranggaol ada 5.600 lubang KJA yang bisa menghasilkan nilai ekonomi miliaran.
“Per lubang bisa menghasilkan kurang lebih 1,4 ton untuk satu musim atau enam bulan. Coba saja kalikan, jika dari satu lubang biasanya kami mendapat Rp 4 juta,” ujar salah satu petani Robin Hutahaean, Jumat (18/1/2019).
Robin bercerita, kurang lebih 85 persen warga Haranggaol saat ini ekonominya tergantung pada KJA.
“Kami (warga) adalah pelaku bisnis langsung. Dalam satu keluarga (asli Haranggaol) biasanya minimal punya 4 lubang,” tambahnya.
Meski demikian, tak semua keluarga di Haranggaol usaha budidaya ikan. Ada juga yang bermatapencaharian dari turunan bisnis itu.
Ebed Boaz Sihotang, misalnya, seorang agen distribusi pakan ikan. Kata Ebed, putaran ekonomi di Haranggaol memang berporos pada bisnis itu yang berujung terhadap penyerapan tenaga kerja masyarakat, mulai dari pembenihan, produksi pakan, pemeliharaan, panen, transportasi, rantai pemasaran, dan kuliner dengan bahan baku ikan.
“Banyak lah turunan bisnisnya. Ada yang seperti saya ini, sampai kuli panggul. Pokoknya semuanya ujung-ujungnya karena budidaya ikan pada KJA,” kata dia.
Petani ikan di sana pun bermacam-macam. Ada yang mengurus dan merawat milik sendiri, ada pula petani yang dibayar oleh pebisnis lainnya sehingga bertanggung jawab atas lubang KJA.
Robin sendiri bertanggung jawab pada lebih dari 100 kolam milik ia dan keluarga. Sehari-hari, ia dibantu 5 karyawan.
Berbeda dengan Hotjon Haloho. Ia mengaku bertanggung jawab atas 250 lubang, dengan rincian 22 lubang milik sendiri dan sisanya milik pengusaha lain.
Budidaya ikan, menurut Hotjon sudah jadi keseharian warga asli. Sebagai petani sekaligus pebisnis, ia adalah generasi kedua keluarga.