Kemudian kesiapan personil, baik maskapai maupun ground handling, turut menjadi kunci. Tidak hanya faktor teknis, mereka juga dituntut agar dapat berempati kepada penumpang. Pelatihan berkala perlu diberikan agar manusia tetap diperlakukan sebagai manusia, bukan sekedar objek.
Fasilitas bandara juga perlu disorot. Jangan sampai hanya ada satu-dua counter yang sanggup buka ketika antrian membeludak.
Tantangan ini nyata mengingat terdapat variasi kelas bandara di Indonesia ditengah ekspansi pariwisata daerah.
Konsistensi diperlukan agar tidak tercipta standar ganda serta informasi yang menyesatkan. Jangan sampai penumpang mendapatkan lampu hijau untuk membawa tas ke kabin pesawat di suatu bandara, tetapi ditolak di bandara lain dengan kondisi dan maskapai yang sama.
Bagasi berbayar lumrah bagi bisnis model low-fare airline mengingat disinilah mereka mencari pendapatan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) perlu mengawal berapa harga bagasi berbayar yang tepat; termasuk ‘denda’ atau biaya yang dikenakan kepada penumpang seandainya membeli fasilitas tersebut langsung di counter.
Jangan sampai alasan telah disediakan opsi pembelian melalui website dijadikan dasar untuk menjadikan penumpang sebagai sapi perah. Tidak salah jika terdapat perbedaan harga, tetapi harus tetap proporsional. Komparasi perlu dilakukan dengan best practice di yurisdiksi lain. Semoga YLKI tidak tumpul di udara.
Pengetatan tujuh kilogram perlu dilihat dari perspektif keselamatan. Cedera penumpang dapat diminimalisir seandainya terjadi turbulence atau cacat produk pada penyimpanan bagasi kabin yang berakhir dengan jatuhnya tas. Tentunya hal ini tidak sedikitpun menghilangkan tanggung jawab (liability) maskapai penerbangan.
Jangan dilupakan ancaman terselubung dibalik kebijakan bagasi berbayar. Pengedar narkoba dapat memanfaatkan penumpang berdaya beli terbatas atau tengah terburu-buru dengan skenario patungan bagasi.
Potensi ini nyata, mengingat dewasa ini beberapa maskapai yang menerapkan bagasi berbayar mendominasi pasar domestik. Tantangan bagi maskapai, bandara dan otoritas terkait untuk menciptakan upaya preventif, baik di bandara maupun dunia maya, yang kedepannya erat dengan isu perlindungan data pribadi.
Hak Konsumen di Balik Ketentuan Dimensi Bagasi Kabin
Seiring dengan pengetatan berat bawaan penumpang ke kabin, nyatanya ukuran (akan) turut mengikuti. Hal ini penting bagi maskapai guna mempercepat mobilisasi penumpang, terutama ketika terjadi keterlambatan penerbangan.
Dimensi maksimal 58 cm x 46 cm x 23 cm dijamin dalam Permenhub PM 185 Tahun 2015 untuk penerbangan domestik. Namun, terdapat ketidakpastian mengingat tertera kata lanjutan "…yang disesuaikan dengan headrack".
Alhasil terbuka pintu bagi maskapai untuk menentukan dimensi ‘ideal’ berdasarkan armada pesawat.
Konvensi Chicago 1944 sebagai magna carta hukum udara diam mengenai hal ini; lantas menyerahkan kepada masing-masing negara untuk menentukan.
International Air Transport Association (IATA) berinisiatif menentukan dimensi ideal 55 cm x 35 cm x 20 cm sebagaimana dikenal dengan IATA Proposed Cabin OK Size. Banyak memperoleh kritik, maksimum dimensi bagasi kabin naik menjadi 56 cm x 45 cm x 25 cm.