JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil analisis Intergal Ad Science (IAS) pada semester II 2017 menunjukkan, lingkungan daring (dalam jaringan) Indonesia memiliki risiko merek yang tinggi, sebesar 9,1 persen, jauh di atas Asia Tenggara dengan 3,5 persen dan tolok ukur global sebesar 7,9 persen.
Direktur Pelaksana Asia Tenggara, Ilmu Pengetahuan Iklan Terpadu Niall Hogan mengatakan laporan ini menunjukkan pentingnya bagi pengiklan, dan pembeli dan penjual media digital, untuk melihat KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) di tingkat negara.
"Tampilan Keamanan Merek secara keseluruhan relatif rendah di 3,5 persen di semua wilayah, tetapi mencapai puncaknya di Indonesia sebesar 9,1 persen," kata dia melalui rilis yang diberikan kepada Kompas.com, Rabu (25/4/2018).
Baca juga : Ini Peluang Bisnis Iklan Luar Ruang
Tingginya risiko merek menunjukkan, masih banyak tayangan iklan online yang ditampilkan bersama konten yang menghadirkan risiko terhadap keamanan merek, seperti konten dewasa, dan konten alkohol.
Selain itu, konten-konten yang kaya akan perkataan yang mendorong kebencian, unduhan ilegal, obat-obatan terlarang, bahasa kasar dan kekerasan, juga merupakan jenis konten yang menimbulkan risiko bagi keamanan merek.
Sebagai perbandingan, risiko merek di semua jenis pembelian di Asia Tenggara, Hong Kong dan Taiwan adalah 3,5 persen, berada di bawah patokan global 7,9 persen untuk semester II 2017.
Sementara Thailand memiliki rjsiko keamanan merek sebesar 8,6 persen, risiko merek tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Indonesia.
Baca juga : BRI, Merek Paling Bernilai di Indonesia, 5 Besar di Asia Tenggara
Sementara Singapura dan Malaysia memiliki lingkungan daring paling aman dengan hanya 2,5 persen dan 2,2 persen dari iklan yang ditampilkan bersama konten yang beresiko.
Lebih lanjut dijelaskan pula, visibilitas iklan online (keterlihatan iklan) di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan adalah 58,9 persen, berada di atas patokan global 55,8 persen.
Sementara Indonesia, pada semester dua tahun 2017 memiliki visibilitas iklan online sebesar 53,2 persen mengindikasikan kinerja yang lebih rendah daripada Asia Tenggara dan rata-rata global.