Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Anak Muda, Koperasi, dan The Abundance Era

Kompas.com - 06/03/2018, 22:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di sebuah diskusi grup Whatsapp, saya melempar argumen, boleh jadi karena ekosistem koperasi cenderung tertutup sehingga abai respons perubahan besar itu.

Lantas apakah koperasi kredit (kopdit) yang secara arsitektural kokoh juga mengalami hal yang sama?

Boleh jadi ya, boleh jadi tidak. Sebagian koperasi kredit mulai kembangkan teknologi finansial untuk layani anggota. Yang dulunya offline dan manual sekarang mulai online dan otomatis.

Mengikuti tren perbankan yang go online, respons cepat itu patut diapresiasi. Pasalnya, masyarakat desa pun sekarang sudah akrab dengan ponsel pintar gegara harganya yang murah.

Cepat dan pasti akan terjadi, seluruh masyarakat kita akan ke arah cashless society. Tetangga kita, India, telah membuktikannya.

Ekosistem ramah anak muda

Namun, apakah cukup kopdit dengan agenda go online itu? Tentu, tidak! Dengan sumber daya yang berlimpah itu (abundance) yang sampai triliunan rupiah, kopdit idealnya melakukan banyak investasi di anak muda. Bukan sekadar merekrut anggota muda sebanyak-banyaknya, melainkan juga membangun ekosistem koperasi yang ramah anak muda.

Kopdit perlu masuk ke modus-modus sosial-ekonomi baru seperti working space, start up business, sharing economy, esteem economy, dan seterusnya. Skema pemekaran atau spin off yang sedang digadang-gadang salah satunya harus ke arah sana.

Kopdit harus mengembangkan Koperasi Pekerja (Worker Coop) sektor kreatif yang berisikan anak-anak muda. Dampaknya, lapangan kerja baru terbuka. Dan, di negeri lain, itulah yang dilakukan Credit Union di sana.

Di zaman ini kopdit tak bisa lagi berperilaku seperti Kopdit era 70 atau 80-an. Doktrin no one left behind adalah benar, bagaimana pelayanan pada kelompok marginal harus diutamakan. Namun, membangun daya lestari sekaligus daya ungkit bagi masa depan juga harus diupayakan.

Pada konteks ini, barulah saya memahami mengapa Robby Tulus memberi atensi lebih pada anak muda saat Youth Summit Pemuda Koperasi se-Asia Pasifik di Bali dua tahun silam. Saat itu, saya justru mendebat keras sedemikian rupa. Ternyata saya mulai sadari, insight beliau tepat.

Banyak koperasiwan di tanah air resah dengan bagaimana nasib koperasi saat ini dan mendatang. Ya, ditinggal anak muda.

Survei Litbang Kompas (2015) perlu kita simak ulang. Ada 74,3 persen responden mengatakan koperasi mampu sejahterakan anggota. Namun ironisnya, 83 persen responden bukanlah anggota koperasi.

Survei itu dilakukan di 12 kota besar di Indonesia, seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Bali, Banjarmasin, Makassar, Pontianak dan Manado. Perlu kita ingat, di kota itulah banyak anak-anak muda melahirkan karya kreatif.

Pembaruan koperasi di Indonesia tak bisa mengharap pada pihak lain, termasuk pemerintah. Namun, tentu saja pantas kiranya bila kita berharap kepada gerakan koperasi kredit.

Koperasi Kredit Abundance harus mulai bangun ekosistem perkoperasian yang ramah bagi anak-anak muda.

Bila pada 2016 ada 914 primer kopdit di Indonesia, maka harus ada 10 persen atau 90 Koperasi Pekerja sektor kreatif yang dilahirkan oleh gerakan ini. Sehingga sebagai anak muda saya akan bangga mengatakan bahwa saya anggota Credit Union Cikalmas di Purwokerto. Yang nama dan kekayaan saya juga tercantum di statistik triliunan rupiah itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com