JAKARTA, KOMPAS.com—Berbagai dinamika global yang dipengaruhi oleh kondisi di Amerika Serikat menyebabkan gejolak tersendiri terhadap perekonomian negara lain, baik negara maju maupun negara berkembang.
Indonesia, sebagai salah satu yang terkena dampaknya, disebut memerlukan amunisi alias strategi berupa bauran kebijakan untuk menghadapi tekanan eksternal.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bersama Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, serta Kementerian BUMN telah berkoordinasi dan membuat kesepakatan berupa arah kebijakan bersama.
Baca juga: Jaga Stabilitas Sistem Keuangan, KSSK Optimalkan Bauran Kebijakan
Fokus utama bauran kebijakan tersebut adalah memprioritaskan stabilisasi kondisi ekonomi jangka pendek dengan tetap mendorong pertumbuhan jangka menengah dan panjang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution melalui konferensi pers di Kementerian Keuangan pada Senin (28/5/2018) pertama-tama menyampaikan, Indonesia sudah memiliki ketahanan menghadapi tekanan eksternal melalui kondisi ekonomi yang baik.
Indikator makroekonomi per kuartal I/2018, ujar Darmin, mendukung pernyataan tersebut, yaitu berupa pertumbuhan ekonomi 5,06 persen, pertumbuhan penerimaan perpajakan 14,9 persen, defisit APBN 0,37 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), serta keseimbangan primer yang surplus Rp 24,2 triliun.
Baca juga: Darmin: Jangan Kurs Dollar AS Bergerak kemudian Disimpulkan Sudah Krisis
Taper tantrum disandingkan dengan kondisi saat ini karena ada beberapa kemiripan, di antaranya tekanan dari faktor eksternal yang berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah dan perubahan kebijakan suku bunga acuan di Indonesia.
"Fundamental ekonomi kita sekarang dipahami dunia internasional, termasuk para investor Indonesia, sebagai kondisi yang baik. Indonesia dipandang memiliki prospek ekonomi yang baik di masa depan," kata Darmin.
Langkah yang ditempuh
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan langkah penguatan kebijakan fiskal, di mana yang utama adalah optimalisasi laju penerimaan dengan menjaga iklim investasi sembari meneruskan reformasi perpajakan.
"PPN (Pajak Pertambahan Nilai) tumbuh 14,1 persen dan PPh (Pajak Penghasilan) Badan yang tumbuh 23,6 persen menggambarkan peningkatan aktivitas perekonomian dan kesehatan dunia usaha," tutur Sri Mulyani.
Baca juga: Sri Mulyani Menanti Gebrakan Perry Warjiyo Kuatkan Rupiah
Selain mengoptimalkan penerimaan, efisiensi belanja negara juga terus dilakukan. Dalam hal pembiayaan, Kementerian Keuangan menerapkan strategi front loading sejak awal 2018, yang diklaim berdampak positif pada realisasi pembiayaan sebesar 57,9 persen dari target APBN 2018.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan akan merespons kebijakan suku bunga sebagai antisipasi dari hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada Juni mendatang. Salah satunya, sebut dia, dengan mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan pada 30 Mei 2018.