BEIJING, KOMPAS.com -Tarik ulur konflik dagang China dan Amerika Serikat (AS) masih terus berlangsung.
Perundingan terakhir antara AS dan China pada Minggu (3/5/2018) waktu Beijing, berakhir dengan China memperingatkan AS jika tarif impor terhadap beberapa komoditas China akan membatalkan perjanjian-perjanjian yang telah disetujui kedua belah pihak.
Peringatan dari China ini menimbulkan kegamangan dari pihak AS. Apakah akan tetap memberlakukan tarif impor untuk China dan menyulut potensi perang dagang semakin besar, atau berdamai dan menyetujui tawaran yang diberikan China.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan yang jelas di antara keduanya terkait hasil akhir perundingan yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross dan Perdana Menteri China Liu He.
Baca juga: Tenaga Kerja Asing Bertambah, Pekerja Asal China Paling Banyak
Meskipun pihak China mengatakan proses negosiasi di antar kedua raksasa perkonomian dunia ini berjalan dengan lancar, namun hasil perundingan yang sebelumnya pernah tercapai mengenai impor AS ke China untuk komoditas agrikultur dan energi memerlukan pembahasan lebih lanjut.
"Pencapaian perjanjian China dan Amerika seharusnya berakhir dengan dua pihak yang saling bersebrangan pandangan ini tidak saling menyerang dalam perang dagang," kantor berita China Xinhua memberitakan pada Minggu (3/5/2018), dikutip melalui South China Morning Post.
"Jika Amerika Serikat memberikan sanksi dagang, termasuk memberikan tambahan tarif (untuk produk China), maka seluruh perjanjian dagang di antara keduanya tidak akan berlaku," tambahnya.
AS belum memberikan keterangannya terkait pertemuan hari itu, meskipun Ross telah mengatakan proses perundingan berjalan dengan "baikdan jujur", dengan 50 anggota delegasi AS mengangkat topik terkait penambahan jumlah komoditas AS yang akan diimpor ke China.
Baca juga: Trump Bantu ZTE, China Jajaki Cabut Tarif Produk AS
Analis mengatakan, proses perundingan di antara keduanya bisa jadi memang tidak menghasilkan kesimpulan apapun, di tambah lagi dengan ancaman pemberlakuan tarif untuk produk impor China yang juga masih terus digodok oleh AS, meskipun di sisi lain China juga telah setuju di beberapa hal.
"Sepertinya negosiasi berakhir dengan kebuntuan lain, tanpa benar-benar ada mengakui apapun," ujar Ekonom dari Intelligence Unit Nick Marro.
"Masih banyak ketidakpastian. Pernyataan Xinhua memperlihatkan masih banyak hal, termasuk pemberlakukan tarif, yang harus dipertimbangkan," lanjutnya.
Marro menambahkan, tidak adanya pernyataan terkait implementasi "Made in China 2025" mengenai kebijakan Chinadalam pengembangan teknologi yang memberatkan AS ini mengindikasikan tidak adanya persetujuan dan inisiatif di antara kedua negara.
Sebelumnya, Gedung Putih menyatakan akan memberlakukan tarif impor senilai 50 miliar dollar AS untuk produk impor China dan akan merilis daftar produk impor tersebut pada 5 Juni mendatang. Selain itu, pihak Gedung Putih juga berencana untuk memberikan larangan investasi serta kontrol terhadap ekspor produk industri teknologi pada 30 Juni.
Profesor Ekonomi Univesity of International Business and Economics John Gong mengatakan, meskipun China mungkin telah menyetujui beberapa hal, seperti menambah kuota pembelian produk AS atau bahkan terkait tuduhan AS mengenai pencurian properti intelektual AS untuk pengembangan teknologi China, namun pada akhirnya keputusan berada di tangan Presiden Trump.
"Sementara Liu He memiliki hak untuk membuat keputusan dalam diskusi tersebut, Ross tidak memiliki otoritas mengenai hal ini, sehingga dia harus kembali ke Washington dan melapor kepada Trump," ujarnya.