Menurut Santoso, biaya top up tersebut sepenuhnya akan digunakan bank untuk menutupi biaya-biaya operasional. Dengan begitu, layanan pembayaran nontunai dapat dipertahankan.
"Mungkin yang penting spiritnya. Gerakan Non-Tunai adalah kegiatan positif karena semua pihak diuntungkan. Jadi untuk mendorong keuntungan yang lebih baik di masyarakat modern maka kita bersama dan kita bersama-sama juga mengambil konsekuensinya," jelas Santoso.
Tidak Fair
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI) mengkritisi rencana Bank Indonesia (BI) untuk membebaskan perbankan menarik biaya tambahan untuk top up uang elektronik.
(Baca: YLKI: Biaya Top Up Uang Elektronik Tidak Fair untuk Konsumen)
Padahal, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menganggap sistem non-tunai dilakukan demi efisiensi dan keamanan dalam bertransaksi.
"Namun, menjadi kontra-produktif jika BI justru mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya top up pada setiap uang elektroniknya. Secara filosofis apa yang dilakukan BI justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society tersebut," kata Tulus, Minggu (17/9/2017).
Tulus menjelaskan, tanpa biaya tambahan, perbankan sudah diuntungkan melalui penerapan transaksi non-tunai.
Sebab, lanjut dia, perbankan akan menerima uang di muka, sementara transaksi atau pembelian belum dilakukan konsumen.
(Baca: Jangan Lupa, Mulai 31 Oktober Bayar Tol Pakai Uang Elektronik)
Dengan demikian, Tulus memandang tidak fair rencana penerapan biaya tambahan untuk top up uang elektronik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.