KOMPAS.com - Inklusi keuangan terus menjadi fokus pemerintah Indonesia dimana pemerintah menargetkan indeks keuangan inklusif mencapai 75 persen pada 2019.
Di satu sisi, salah satu penggerak sektor ekonomi yang kuat di Indonesia adalah sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berdasarkan Data Kementerian Koperasi dan UKM dan Bank Indonesia tahun 2015, kontribusi UMKM per 2014 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 57,6 persen.
Melihat kondisi tersebut, UMKM dapat dikategorikan sebagai salah satu pihak yang patut untuk diperhatikan dalam mendukung pencapaian inklusi keuangan.
Tantangan Mengembangkan UMKM
Dalam mengembangkan usahanya, tantangan yang sering dihadapi oleh UMKM adalah keterbatasan modal akibat minimnya akses pembiayaan dari lembaga keuangan, dan kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai.
Selain itu, para pelaku UMKM cenderung tidak memiliki pencatatan transaksi yang rapi dan terorganisir dengan baik. Pencatatan dilakukan dalam buku sederhana berdasarkan ingatan saja, sehingga memiliki risiko kesalahan perhitungan dan pencatatan.
Sementara lembaga keuangan melakukan credit scoring bagi para calon debitur untuk menentukan kelayakan mendapatkan pinjaman.
Baca juga : Antisipasi Janji Palsu di Era Digital, Pengusaha Harus Melek Hukum
Dari credit scoring tersebut, lembaga keuangan akan mencari informasi yang berkaitan dengan kondisi keuangan calon debitur, salah satunya adalah data pendapatan yang terinci.
Bagi para pelaku UMKM yang masih melakukan pencatatan secara manual, hal ini menjadi masalah utama dan dapat menghambat pengembangan usaha.
Manfaat Pembayaran Non-Tunai bagi UMKM
Kehadiran teknologi finansial (tekfin) memberikan manfaat tersendiri bagi para pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya.
Dari beberapa bidang tekfin, sistem pembayaran non-tunai telah berkembang pesat dan menjadi salah satu kontributor terbesar industri tekfin di Indonesia saat ini.
Berikut adalah tiga manfaat pembayaran non-tunai yang dapat mendorong perkembangan usaha UMKM:
1.Transaksi yang lebih cepat