Proyek LRT Palembang yang dikerjakan Kementerian Perhubungan sepanjang 23,4 kilometer dengan investasi Rp 11,3 triliun, membutuhkan Rp 484 miliar untuk konstruksi sarana dan prasarana per kilometernya.
Pembangunan proyek ini pun diklaim lebih murah ketimbang di negara lain. LRT Manila di Filipina, misalnya membutuhkan Rp 904 miliar per kilometer, lalu LRT Kelana Jaya di Malaysia memerlukan Rp 807 miliar per kilometer.
Sementara itu, pembangunan LRT Lahore di Pakistan memerlukan Rp 797 miliar per kilometer dan LRT Dubai di Uni Emirat Arab memerlukan Rp 1,026 triliun per kilometer.
Adapun LRT Calgary di Kanada memerlukan anggaran Rp 2,197 triliun per kilometer dan LRT Houston di Amerika Serikat sebesar Rp 688 miliar per kilometer.
Menurut Pundjung, untuk menilai mahal atau tidaknya sebuah proyek harus dilihat secara keseluruhan. Membandingkannya dengan proyek lain juga harus apple to apple.
“Dalam menerima informasi cost (biaya) harus paham dulu skop pekerjaannya apa, teknologi yang dipakai apa. Jadi cost tadi sudah mengandung cost untuk depo, biayanya nggak murah itu. Cost itu termasuk depo dan stasiun," kata Pundjung.
Mengenai pembuatannya yang 100 persen elevated, pihak Adhi Karya pun angkat bicara.
Direktur Adhi Karya Budi Harto mengatakan, kalau dibangun tepat di atas tanah, maka akan memunculkan banyak perlintasan sebidang. Pada gilirannya, tujuan akhir dari pembangunan LRT yakni untuk memperlancar arus lalu lintas tidak tercapai.
"Karena banyak persimpangan, sehingga lalu lintas kereta dan jalan raya tidak akan lancar, terganggu," kata Budi menjawab Kompas.com.
Dengan menghilangkan perlintasan sebidang, maka kapasitas jalan akan semakin tinggi karena tidak ada gangguan kereta yang lewat.
Selain itu, potensi kecelakaan antara kereta dengan kendaraan dapat diminimalisasi.
Baca juga: Pengoperasian LRT Jabodebek Molor dari Target
Alasan lainnya yakni memastikan kapasitas lintas maupun frekuensi perjalanan kereta dapat maksimum tanpa mengganggu jalur lalu lintas lain.
Selain itu, banyak flyover dan jembatan penyeberangan orang serta konstruksi lainnya yang dibangun di sepanjang jalur LRT.
"Lalu, menjaga kelandaian minimimum jalur (maksimum 2 persen), bila trase vertikalnya turun naik akan mengurangi kenyamanan penumpang dan juga sarananya membutuhkan daya yang besar sehingga boros listrik/ biaya operasional dan biaya perawatan," tutur Budi.
Konstruksi layang juga meminimalisasi pembebasan lahan yang harus dilakukan. Sebab, bila menggunakan konstruksi di atas tanah (at grade) dibutuhkan ruang bebas yang lebih lebar.