Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zulkifli Hasan
Ketua MPR RI

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional.

Tata Kelola Sawit Nasional

Kompas.com - 23/05/2018, 20:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KAMPANYE negatif yang dilancarkan di pasar ekspor terutama Uni Eropa, dengan tudingan minyak sawit (crude oil palm) asal Indonesia tidak ramah lingkungan menjadi tantangan berat bagi industri sawit saat ini.

Walalupun sebenarnya jika ditilik dari data yang ada, pasar CPO Indonesia ke Uni Eropa masih berada di bawah China, India, dan Pakistan.

Isu deforestasi menjadi sangat sensitif di industri kelapa sawit. Terlepas apapun motifnya, alasan tersebut akhirnya melatarbelakangi Perancis untuk mengenakan pajak progresif bagi produk CPO Indonesia.

Kebijakan tersebut direncanakan berlaku pada 2017 lalu dengan kisaran pajak progresif 300 euro per ton dan direncanakan akan terus naik hingga 2020 menjadi sebesar 900 euro per ton.

Baca juga: Lihat Pohon Sawit Tua di Riau, Jokowi Minta Peremajaan Segera

Tetapi syukurlah, belakangan akhirnya Perancis melunak dengan mau menurunkan pajak dari semula 300 euro menjadi 90 euro per ton, setelah upaya lobi keras yang terus dilakukan pemerintah Indonesia.

Seiring dengan itu, tuntutan regulasi pun semakin ketat mengatur keberadaan perkebunan kelapa sawit. Urgensi Indonesian Sustainability Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) terus disuarakan.

Sebagai catatan saja, RSPO merupakan asosiasi nirlaba internasional yang berdiri pada tahun 2004 dan mempersatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan (Certified Sustainable Palm Oil/CSPO).

Sementara ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.

Nah, kegelisahan itu akhirnya menggerakkan semua produksi untuk diproses di Seruyan dan disertifikasi sebagai produk sawit berkelanjutan atau lebih dikenal dengan singkatan sertifikasi yurisdiksi.

Sikap Pemerintah

Bagaimana pemerintah menyikapi tudingan bahwa CPO dan sawit Indonesia dianggap tidak ramah lingkungan?

Selain terus memperkenalkan RSPO dan ISPO, sebenarnya pada tahun 2016 lalu, pemerintah sudah menyiapkan moratorium untuk lahan kelapa sawit dan lahan tambang.

Menurut Presiden RI Joko Widodo kala itu, lahan kelapa sawit yang telah ada saat ini dinilai sudah cukup dan dapat ditingkatkan lagi kapasitas produksinya dengan memaksimalkan potensi yang ada. Presiden menyebutkan, asalkan pemilihan bibitnya benar, serta dikerjakan dengan baik, maka produksi sawit diperkirakan bisa lebih dari dua kali lipat.

Keputusan pemerintah untuk memoratorium lahan kelapa sawit tersebut diharapkan menjadi kesempatan untuk meningkatkan kapasitas produksi kebun kelapa sawit yang dimiliki masyarakat.

Baca juga: Supermarket Inggris Tolak Produk Berbahan Baku Minyak Sawit

Data sementara menunjukan bahwa tingkat produktivitas perkebunan rakyat masih sekitar 4 juta ton per tahun. Jumlah itu tentu masih bisa ditingkatkan setara dengan tingkat produktivitas perkebunan milik perusahaan swasta, yakni menjadi 6 juta-8 juta ton per tahun.

Kebijakan tersebut memang selayaknya harus dicermati dan dievaluasi secara inkremental dan simultan karena masih banyak warga yang bergantung pada perkebunan kelapa sawit.

Terlebih lagi, hari ini sawit telah menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia di kancah regional dan global. Harapannya, ada aturan teknis lebih lanjut sehingga upaya-upaya untuk meningkatkan produktifitas petani sawit bisa segera dicarikan bentuk teknis operasionalnya, baik oleh pemerintah pusat, daerah, maupun pemangku kepentingan lainya.

Dari data yang ada, hingga hari ini, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 14,3 juta hektar (ha), terluas di dunia. Sementara itu, produksi minyak sawit kasar (CPO) tercatat sekitar 32 juta ton setiap tahun.

Dengan demikian, Indonesia juga menjadi penghasil CPO terbesar sedunia, setingkat di atas Malaysia. Bahkan jika dilakukan perbaikan sistem produksi dengan bibit unggul dan perawatan optimal, produksi CPO diperkirakan masih bisa ditingkatkan.

Untuk itu, sangat bisa dipahami mengapa pemerintah mempertimbangkan untuk tidak lagi memberikan izin konsesi baru perkebunan kelapa sawit.

Pasalnya, mendorong perbaikan pengelolaan kebun kelapa sawit petani lokal skala kecil lewat peningkatan kualitas bibit dan peremajaan yang tepat akan jauh lebih baik ketimbang mengorbankan lahan-lahan yang seharusnya bisa dijadikan jantung dan paru-paru dunia (lahan konservasi) untuk para pemodal yang selama ini terkesan sangat kapitalistik dalam memperlakukan bisnis sawit.

Pembakaran lahan

Selama ini, pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit kerap melakukan sistem lama, yakni dengan pembakaran. Konsekuensinya, kepulan asap sering terjadi dan menyesakkan nafas. Asap yang dihasilkan sarat dengan kandungan sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx).

Kedua senyawa ini kemudian bisa menetaskan hujan asam yang sangat berbahaya bagi tanaman pangan. Dari sisi yang lain, kondisi itu tentu bisa pula menjadi ancaman bagi kebijakan penguatan kedaulatan pangan ke depannya.

Moratorium yang diberlakukan diharapkan akan dapat menghentikan praktik pembakaran lahan yang merusak lingkungan hidup. Padahal, jika mau jujur, pembakaran lahan sesungguhnya menunjukkan bahwa kualitas peradaban pemilik modal semakin menurun dalam merawat lingkungan.

Pembakaran hutan sama artinya melenyapkan keanekaragaman yang menjadi sumber pangan bagi umat manusia di masa datang. Pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran di Aceh Singkil, misalnya, hanya sedikit memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian dan pendapatan asli daerah, tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan.

Selama ini, pembukaan lahan untuk ekspansi sawit di daerah gambut dengan jalan pembakaran acap menuai bencana asap. Penyemprotan di permukaan hamparan hingga penyuntikan ke dalam lahan gambut dengan air bertekanan tinggi tidak membuat asap berhenti mengepul.

Konon kian masifnya pembakaran lahan telah menuai efek pemanasan global yang menetaskan perubahan iklim.

Fenomena tersebut telah memengaruhi curah hujan dan peningkatan suhu udara. Hingga hari ini, suhu bumi sudah meningkat sekitar 1,5 derajat celsius dibandingkan dengan seabad silam.

Bumi telah memperlihatkan perubahan iklim secara dramatis. Musim cenderung tidak stabil yang memunculkan cuaca ekstrem berupa badai El Nino. Dampaknya sudah mulai tampak di sektor pertanian. Gagal panen sudah kerap menghampiri petani.

Penurunan produktivitas lahan pertanian pangan di sentra sawit tidak terhindarkan. Defisit dan gejolak pangan sudah terjadi akibat gangguan siklus air di musim kemarau panjang yang mengakibatkan pergeseran waktu, musim dan pola tanam.

Sebagian besar petani hanya bisa pasrah atas dampak buruk kekeringan panjang yang terjadi di sentra-sentra pertanian. Sawah yang sudah ditanami padi menjadi makin kering, dengan lumpur mengeras dan pecah-pecah.

Risiko lainnya, pemerintah dipaksa membuka keran impor beras 1,5 juta ton untuk menghadapi dampak El Nino yang menyebabkan musim kemarau panjang di tahun 2015.

Baca juga: Limbah Sawit yang Lantas Bernilai Rp 1 Miliar

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com